Minggu, 09 November 2014

Hakekat Belajar

2.1  Kerangka Teoretis
2.1.1        Hakekat Belajar
Para pakar pendidikan mengemukakan pengertian hakekat belajar berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun demikian selaku mengacu pada prinsip yang sama yaitu setiap orang yang melakukan proses belajar akan mengalami suatu peruba­han dalam dirinya. Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi tentang belajar. Cronbach, Harold Spears dan Geoch dalam Sardiman A.M (2005 : 20) sebagai berikut :
1)   Cronbach memberikan definisi :
Belajar adalah memperlihatkan perubahan dalam perilaku sebagai hasil dari pengalaman”.
2)   Harold Spears memberikan batasan :
Belajar adalah mengamati, membaca, berinisiasi, mencoba sesuatu sendiri, mendengarkan, mengikuti petunjuk/arahan.
3)   Geoch, mengatakan :
Belajar adalah perubahan dalam penampilan sebagai hasil praktek.
Dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar itu senantiasa merupa­kan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misal­nya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih baik kalau siswa mengalami atau mela­ku­kannya, jadi tidak bersifat verbalistik. Belajar sebagai kegiatan individu sebe­nar­nya merupakan rangsangan-rangsangan individu yang dikirim kepadanya oleh lingkungan. Dengan demikian terjadinya kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dapat dijelaskan dengan rumus antara siswa dan lingkungan.
Fontana dalam Winataputra (2003 : 2) mengemukakan bahwa ”Lear­ning (belajar) mengandung pengertian proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman”. Pengertian belajar juga dikemu­ka­kan oleh Slameto (2003 : 2) yakni ”Belajar adalah suatu proses usaha yang dilaku­kan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingku­ngannya”.
Selaras dengan pendapat-pendapat tersebut, Hakim (2000 : 1) mengemukakan bahwa :
Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan peruba­han tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas ting­kah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemaha­man, keterampilan, daya pikir, dll.
Hal ini berarti bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang diperlihatkan dalam bentuk bertambahnya kuali­tas dan kuantitas kemampuan seseorang dalam berbagai bidang. Dalam proses belajar, apabila seseorang tidak mendapatkan suatu peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, maka orang tersebut sebenarnya belum mengalami  proses belajar atau dengan kata lain ia mengalami kegagalan di dalam proses belajar.
Belajar yang efektif dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan yang diharapkan sesuai dengan tujuan instruksional yang ingin dicapai. Untuk mening­kat­kan prestasi belajar yang baik perlu diperhatikan kondisi internal dan eksternal. Kondisi internal adalah kondisi atau situasi yang ada dalam diri siswa, seperti kese­hatan, keterampilan, kemapuan dan sebagainya. Kondisi eksternal adalah kondisi yang ada di luar diri pribadi manusia, misalnya ruang belajar yang bersih, sarana dan prasarana belajar yang memadai.
2.1.2        Hasil Belajar
Hasil belajar siswa merupakan suatu hal yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menyerap atau memahami suatu materi yang disampaikan.  Hasil belajar siswa diperoleh setelah berakhirnya proses pembelajaran.   
Menurut Bloom hasil belajar mencakup prestasi belajar, kecepatan belajar, dan hasil afektif.  Andersen sependapat dengan Bloom bahwa karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan.  Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif.  Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai.  Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam bidang pendidikan.  Dimyati (2002: 3) mengungkapkan pengertian hasil belajar sebagai berikut.         
Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar.  Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi belajar.  Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar.
Sudjana (2005: 3) juga mengungkapkan bahwa:
Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotoris.
Berdasarkan uraian tersebut, hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku dari suatu interaksi belajar-mengajar yang kemudian menjadi milik individu yang belajar, baik dalam bidang kognitif, afektif, maupun psikomotoris.
Salah satu upaya mengukur hasil belajar siswa dilihat dari hasil belajar siswa itu sendiri.  Bukti dari usaha yang dilakukan dalam kegiatan belajar dan proses belajar adalah hasil belajar yang biasa diukur melalui tes.  Abdullah (2008) menyatakan pengertian hasil belajar sebagai berikut.
Hasil belajar (achievement) itu sendiri dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di pondok pesantren atau sekolah, yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa dalam aspek kognitif setelah melalui proses belajar, yaitu berupa skor yang diperoleh siswa dari tes formatif pokok bahasan.
2.1.3        Inkuiri
Penggunaan suatu model pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam meningkatkan kemampuan siswa dan mengarah pada penguasaan materi.  Dalam proses pembelajaran guru harus memiliki strategi agar siswa dapat belajar secara efektif, efisien, dan mengena pada tujuan yang diharap­kan.  Inkuiri merupakan salah satu model pembelajaran yang menekankan pada bermacam-macam kegiatan dalam interaksi belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran bermakna.
Kardi (2003 : 3) menyatakan :
Inkuiri pada dasarnya dipandang sebagai suatu proses untuk menjawab pertanyaan dan memecahkan masalah berdasarkan fakta dan observasi. Dari sudut pembelajaran, model umum inkuiri adalah model belajar mengajar yang dirancang untuk membimbing siswa bagaimana meneliti masalah dan pertanyaan berdasarkan fakta.
            
Inkuiri merupakan salah satu model belajar mengajar yang menuntut siswa untuk menjawab pertanyaan dan memecahkan masalah berdasarkan fakta dan observasi.
Roestiyah (1991 : 75) menyatakan :
Inkuiri adalah cara guru mengajar yang pelaksanaannya guru memberi tugas meneliti sesuatu masalah di kelas. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, dan masing-masing kelompok mendapat tugas tertentu yang harus dikerjakan. Kemudian mereka mempelajari, meneliti atau membahas tugas di dalam kelompok, dan masing­­­­­­­­­­­­­-masing kelompok mendapat tugas tertentu yang harus dikerjakan, lalu dibuat laporan yang tersusun dengan baik.
Guru dalam menerapkan inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai konselor, konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus dapat membimbing dan mereflesikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan bagi kerja kelompok.
Menurut Henrichsen & Jarrett (dalam Zulfiani, 2006 : 13), menyatakan bahwa pada pembelajaran IPA, inkuiri merupakan esensi kegiatan (proses) ilmiah (scientific Proces) dan merupakan suatu model pembelajaran sains.  Sebagai suatu model pembelajaran, inkuiri memiliki karakteristik utama, yakni :
(1) Adanya koneksi antara pengetahuan pribadi dengan konsensus ilmiah, (2) Mendesain eksperimen, (3) Melakukan investigasi terhadap fenomena, dan (4) Mengkonstruksi makna dari data dan observasi.
Karakteristik utama di atas bersifat jelas, dapat diamati (observable), dan perilaku-perilakunya dapat diukur (measurable behaviors).
2.1.4        Inkuiri Terbimbing
Inkuiri adalah suatu model pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran fisika dan mengacu pada suatu cara untuk mempertanyakan, mencari pengetahuan, informasi atau mempelajari suatu gejala. Model pembelajaran inkuiri terbimbing yaitu dimana guru membimbing siswa melakukan kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu diskusi. Guru mempunyai peran aktif dalam menentukan permasalahan dan tahap-tahap pemecahannya. Model pembelajaran inkuiri terbimbing ini digunakan bagi siswa yang kurang berpengalaman belajar dengan pembelajaran inkuiri. Dengan model pembelajaran ini siswa belajar lebih beorientasi pada bimbingan dan petunjuk dari guru hingga siswa dapat memahami konsep-konsep pelajaran. Pada model pembelajaran ini siswa akan dihadapkan pada tugas-tugas yang relevan untuk diselesaikan baik melalui diskusi kelompok maupun secara individual agar mampu menyelesaikan masalah dan menarik suatu kesimpulan secara mandiri.
Menurut Suryosubroto (2002 : 201) :
Ada beberapa kelebihan pembelajaran inkuiri terbimbing, antara lain: (1) Mem­bantu siswa mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan keterampilan dan proses kognitif siswa. (2) Mem­bangkitkan gairah pada siswa misalkan siswa merasakan jerih payah penyelidikannya menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan. (3) Memberi kesempatan pada siswa untuk berge­rak maju sesuai dengan kemampuan. (4) Membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses­proses penemuan. (5) Siswa terlibat langsung dalam belajar sehingga termotivasi untuk belajar. (6) Model ini berpusat pada anak, misalkan memberi kesempatan kepada mereka dan guru berpartisipasi sebagai sesama dalam mengecek ide. Guru menjadi teman belajar, terutama dalam situasi penemuan yang jawabanya belum diketahui.
Kelebihan pembelajaran inkuiri terbimbing ini berpusat pada siswa artinya, siswa terlibat langsung dalam proses belajar dan siswa secara aktif dalam menemukan sendiri konsep-konsep dengan permasalahan yang diberikan atau dipilih oleh guru.
Menurut Suryosubroto (2002 : 201) :
Ada beberapa kelemahan pembelajaran inkuiri terbimbing, antara lain: (1) Diper­syaratkan keharusan ada persiapan mental untuk cara belajar ini. (2) Pembelajaran ini kurang berhasil dalam kelas besar, misalnya sebagian waktu hilang karena membantu siswa menemukan teori-teori atau menemukan bagaimana ejaan dari bentuk kata-kata tertentu.
(3) Harapan yang ditumpahkan pada model ini mungkin mengecewa­kan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pembelajaran secara tradisional jika guru tidak menguasai pembelajaran inkuiri.
Kelemahan inkuiri terbimbing ini siswa belum terbiasa untuk melaksanakan proses pembelajarannya, karena siswa masih terbiasa mengandalkan guru. Tanpa siswa terlibat langsung dan aktif dalam proses belajarnya.
Langkah-langkah inkuiri terbimbing menurut  Memes (2000 : 42), ”(1) Merumuskan masalah, (2) Membuat hipotesis, (3) Merencanakan kegiatan, (4) Melaksanakan kegiatan, (5) Mengumpulkan data, (6) Mengam­bil kesimpulan”. Enam langkah pada inkuiri terbimbing ini mem­punyai peranan yang sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.  Para siswa akan berperan aktif melatih keberanian, berkomunikasi dan berusaha mendapatkan pengetahuannya sendiri untuk memecahkan masalah yang dihadapi.  Tugas guru adalah memper­siap­­kan skenario pembelajaran sehingga pembelajaran­nya dapat berjalan dengan lancar.
Inkuiri terbimbing biasanya digunakan terutama bagi siswa-siswa yang belum berpengalaman belajar dengan pembelajaran inkuiri.Pada tahap-tahap awal pengajaran diberikan bimbingan lebih banyak yaitu berupa pertanyaan­pertanyaan pengarah agar siswa mampu menemukan sendiri arah dan tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk memecahkan permasalahan yang disodorkan oleh guru. Pertanyaan-pertanyaan pengarah selain dikemukakan langsung oleh guru juga diberikan melalui pertanyaan yang dibuat dalam LKS. Oleh sebab itu LKS dibuat khusus untuk membimbing siswa dalam melakukan percobaan dan menarik kesimpulan.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa inkuiri terbimbing merupakan salah satu tahapan dalam pembelajaran inkuiri. Dalam pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inquiry), siswa mengembangkan cara kerja untuk menyelidiki pertanyaan yang dipilih / diberikan guru.
2.1.5        Pembelajaran Langsung
Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada keterampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembe­laja­ran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi). (Subarkah, 2010 : 4).
Pemilihan model pembelajaran yang digunakan oleh guru sangat dipengaruhi oleh sifat dari materi yang akan diajarkan, juga dipengaruhi oleh tujuan yang akan dicapai dalam pengajaran tersebut dan tingkat kemampuan peserta didik. Di samping itu pula setiap model pembelajaran selalu mempunyai tahap­­­­-tahap (sintaks) yang dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru. Antara sintaks yang satu dengan sintaks yang lain mempunyai perbedaan. Oleh karena itu guru perlu menguasai dan dapat menerapkan berbagai model pembelajaran, agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai setelah proses pembelajaran sehingga dapat tuntas seperti yang telah ditetapkan. Tetapi para ahli berpendapat bahwa tidak ada model pengajaran yang lebih baik dari model pengajaran yang lain.(Kardi dan Nur, 2000 : 13).
Model Direct Intruction merupakan suatu model pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah. Model pembelajaran ini sering disebut Model Pembelajaran Langsung (Kardi dan Nur,2000 : 2). Arends (2001 : 264) juga mengatakan hal yang sama yaitu :
Apabila guru menggunakan model pembelajaran langsung ini, guru mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi tujuan pembelaja­ran dan tanggung jawab yang besar terhadap penstrukturan isi materi atau keterampilan, menjelaskan kepada siswa, mendemon­strasi­kan yang dikombinasikan dengan latihan, memberikan kesempatan pada siswa untuk berlatih menerapkan konsep atau keterampilan yang telah dipelajari serta memberikan umpan balik.
Model pembelajaran langsung ini dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik, yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah.
Hal yang sama dikemukakan oleh Kardi dan Nur (2000 : 27) bahwa :
Suatu pelajaran dengan model pembelajaran langsung berjalan melalui lima fase: (1) penjelasan tentang tujuan dan mempersiapkan siswa,
(2) pemahaman / presentasi materi ajar yang akan diajarkan atau demonstrasi tentang keterampilan tertentu, (3) memberikan latihan terbimbing, (4) mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik, (5) memberikan latiham mandiri.
2.1.6        Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah (Koesoema : 2010).
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur,  jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksa­naan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.  Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut (Sudrajat : 2010).
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif  tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .
Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP (Sudrajat:2010), yang antara lain meliputi sebagai berikut:
1.        Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2.        Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3.        Menunjukkan sikap percaya diri;
4.        Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5.        Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
6.        Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
7.        Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
8.        Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
9.        Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
10.    Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
11.    Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
12.    Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan  karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.
Pada penelitian ini karakter yang akan dilaksanakan, seperti ; memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri, menunjukkan sikap percaya diri, mematuhi aturan-aturan yang berlaku di lingkungan, mencari dan menerapkan informasi yang didapat dari lingkungan sekitar secara logis, kritis dan kreatif, menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri, menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis, dll.
2.2  Kerangka Pemikiran
Dalam kegiatan pembelajaran di kelas, guru mengutamakan keterlibatan aktif siswa secara langsung seperti mendorong siswa mengungkapkan dugaan awal dengan cara mengajukan pertanyaan membimbing, eksperimen menggunakan media yang secara langsung digunakan oleh siswa, dan melibatkan siswa dalam merangkum atau menyimpulkan informasi pesan pembelajaran.  Siswa akan memperoleh keuntungan jika mereka dapat “melihat” dan “melakukan” sesuatu dari pada sekedar mendengarkan ceramah.  Guru dapat membantu siswa memahami konsep – konsep yang sulit dengan bantuan demonstrasi. Tugas guru dalam pembelajaran ini adalah membimbing dan mengarahkan siswa dalam suatu kegiatan belajar untuk memecahkan masalah yang dihadapinya atau memecahkan sendiri di dalam kelompoknya, bukan meng­ajarkan mereka jawaban dari masalah yang dihadapi tersebut.   
Dalam metode inkuiri terbimbing siswa diberikan kesempatan untuk melaku­kan percobaan untuk memecahkan suatu masalah sehingga siswa menemukan sendiri jawaban dari masalahnya tersebut.  Melalui pengalaman langsung oleh siswa sendiri memungkinkan mereka menemukan prinsip untuk diri mereka sendiri, dan prinsip itu tidak akan berlalu begitu saja tetapi akan bertahan lama untuk diingat.
Kelebihan pembelajaran inkuiri terbimbing ini berpusat pada siswa artinya, siswa terlibat langsung dalam proses belajar dan siswa secara aktif dalam menemukan sendiri konsep-konsep dengan permasalahan yang diberikan atau dipilih oleh guru. Dengan melibatkan siswa secara langsung dalam pembelajaran, seperti siswa diajak untuk melakukan penyelidikan, maka proses pembelajaran dengan metode inkuiri terbimbing menjadi terpusat pada aktivitas siswa, sehingga dengan meningkatnya aktivitas siswa maka berdampak pula pada peningkatan hasil belajarnya. Kelemahan inkuiri terbimbing ini siswa belum terbiasa untuk melaksanakan proses pembelajarannya, karena siswa masih terbiasa mengandalkan guru. Tanpa siswa terlibat langsung dan aktif dalam proses belajarnya.
Sedangkan model pembelajaran langsung bersandar pada kemampuan siswa untuk mengasimilasikan informasi melalui kegiatan mendengarkan, meng­amati, dan mencatat. Karena tidak semua siswa memiliki keterampilan dalam hal-hal tersebut, guru masih harus mengajarkannya kepada siswa. Model pembelajaran langsung bergantung pada kemampuan refleksi guru sehingga guru dapat terus menerus mengevaluasi dan memperbaiki masalah yang dihadapi siswa. Karena guru memainkan peran pusat dalam model ini, kesuk­sesan model pembelajaran ini bergantung pada image guru, jika guru tidak tampak siap, berpengetahuan, percaya diri, antusias, dan terstruktur, siswa dapat menjadi bosan, teralihkan perhatiannya, dan pembelajaran mereka akan terhambat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Pada Inkuiri terbimbing mengacu pada suatu cara untuk mempertanyakan, mencari pengetahuan, informasi atau mempelajari suatu gejala. Cara tersebutlah yang membentuk karakter siswa. Pada pembelajaran langsung bersandar pada kemampuan siswa untuk mengasimilasikan informasi melalui kegiatan mendengarkan, meng­amati, dan mencatat. Kegiatan tersebutlah yang membentuk karakter siswa.

Sabtu, 08 November 2014

Hipotesis Penelitian



A.    Pengertian hipotesis

Trealese (1960) memberikan definisi hipotesis sebagai suatu keterangan semnatara dari suatu fakta yang dapat diamati.
Good dan scates (1954) menyatakan bahwa hipotesis adalah sebuah taksiran atau referensi yang dirumuskan serta diterima untuk sementara yang dapat menerangkan fakta-fakta yang diamati ataupun kondisi-kondisi yang diamati dan digunakan sebagai petunjuk untuk langkah-langkah selanjutnya.
Kerlinger (1973) menyatakan hipotesis adalah pernyataan yang bersifat terkaan dari hubungan antara dua atau lebih variable.
Dari arti katanya, hipotesis memang dari dua penggalan. Kata “HYPO” yang artinya “DI BAWAH” dan “THESA”  yang artinya “KEBENARAN” jadi hipotesis yang kemudian cara menulisnya disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia menjadi hipotesa, dan berkembang menjadi hipotesis.
Apabila  peneliti telah mendalami permasalahan penelitiannya dengan seksama serta menetapkan anggapan dasar, maka lalu membuat suatu teori sementara , yang kebenarannya masih perlu di uji (di bawah kebenaran). Inilah hipotesis peneliti akan bekerja berdasarkan hipotesis. Peneliti mengumpulkan data-datadata yang paling berguna untuk membuktikan hipotesis. Berdasarkan data yang terkumpul , peneliti akan menguji apakah hipotesis yang dirumuskan dapat naik status menjadi teas, atau sebaliknya tumbang sebagai hipotesis, apabila ternyata tidak terbukti.

Terhadap hipotesis yang sudah dirumuskan peneliti dapat bersikap dua hal yakni:
1.        Menerima keputusan seperti apa adanya seandainya hipotesisnya tidak terbukti (pada akhir penelitian).
2.        Mengganti hipotesis seandainya melihat tanda-tandatanda bahwa data yang terkumpul tidak mendukung terbuktinya hipotesis (pada saat penelitian berlangsung).



Untuk mengetahui kedudukan hipotesis antara lain :
1.      Perlu di uji apakah ada data yang menunjuk hubungan variabel penyebab dan variabel akibat.
2.      Adakah data yang menunjukkan bahwa akibat yang ada ,memang ditimbulkan oleh penyebab itu.
3.      Adanya data yang menunjukkan bahwa tidak ada penyebab lain yang bisa menimbulkan akibat tersebut.
Apabila ketiga hal tersebut dapat dibuktikan , maka hipotesis yang dirumuskan mempunyai kedudukan yang kuat dalam penelitian.

G.E.R brurrough mengatakan bahwa penelitian berhipotesis penting dilakukan bagi :
1.      Penelitian menghitung banyaknya sesuatu
2.      Penelitian tentang perbedaan
3.      Penelitian hubungan.

B.     Kegunaan hipotesis
Kegunaan hipotesis antara lain [1]:
1.      Hipotesis memberikan penjelasan sementara tentang gejala-gejala serta memudahkan perluasan pengetahuan dalam suatu bidang.
2.      Hipotesis memberikan suatu pernyataan hubungan yang langsung dapat diuji dalam penelitian.
3.      Hipotesis memberikan arah kepada penelitian.
4.      Hipotesis memberikan kerangka untuk melaporkan kesimpulan penyelidikan

C.    Jenis-jenis hipotesis
Ada dua jenis hipotesis yang digunakan dalam penelitian antara lain :
1.      Hipotesis kerja atau alternatif ,disingkat Ha, hipotesis kerja menyatakan adanya hubungan antara variabel X dan Y, atau adanya perbedaan antara dua kelompok.
Rumusan hipotesis kerja
a)          Jika... Maka...
b)         Ada perbedaan antara... Dan... Dalam...
c)          Ada pengaruh... Terhadap...
2.      Hipotesis nol (null hypotheses) disingkat Ho.
Hipotesis ini menyatakan tidak ada perbedaan antara dua variabel, atau tidak adanya pengaruh variabel X terhadap variabel Y
Rumusannya:
a)          Tidak ada perbedaan antara... Dengan... Dalam...
b)         Tidak ada pengaruh... terhadap...
Saran untuk memperoleh hipotesis:
1.      Hipotesis induktif
Dalam prosedur induktif, penelitian merumuskan hipotesis sebagai suatu generalisasi dari hubungan-hubungan yang diamati
2.      Hipotesis deduktif
Dalam hipotesis ini,peneliti dapat memulai penyelidikan dengan memilih salah satu teori yang ada dibidang yang menarik minatnya,setelah teori dipilih, ia lalu menarik hipotesis dari teori ini.

D.    Ciri-ciri hipotesis
Ciri-ciri hipotesis yang baik:
1)           Hipotesis harus mempunyai daya penjelas
2)           Hipotesis harus menyatakan hubungan yang diharapkan ada di antara variabel-variabel-variabel.
3)           Hipotesis harus dapat diuji
4)           Hipotesis hendaknya konsistesis dengan pengetahuan yang sudah ada.
5)           Hipotesis hendaknya dinyatakan sesederhana dan seringkas mungkin.

E.     Menggali dan merumuskan hipotesis
1)           Mempunyai banyak informasi tentang masalah yang ingin dipecahkan dengan jalan banyak membaca literatur-literatur yang ada hubungannya dengan penelitian yang sedang dilaksanakan.
2)           Mempunyai kemampuan untuk memeriksa keterangan tentang tempat-tempat, objek-objek serta hal-hal yang berhubungan satu sama lain dalam fenomena yang sedang diselidiki.
3)           Mempunyai kemampuan untuk menghubungkan suatu keadaan dengan keadaan lainnya yang sesuaia dengan kerangka teori ilmu dan bidang yang bersangkutan.
Good dan scates memberikan beberapa sumber untuk menggali hipotesis :
1)           Ilmu pengetahuan dan pengertian yang mendalam tentang ilmu
2)           Wawasan serta pengertian yang mendalam tentang suatu wawasan
3)           Imajinasi dan angan-angan
4)           Materi bacaan dan literatur
5)           Pengetahuan kebiasaan atau kegiatan dalam daerah yang sedang diselidiki.
6)           Data yang tersedia
7)           kesamaan.
Sebagai kesimpulan , maka beberapa petunjuk dalam merumuskan hipotesis dapat diberikan sebagai berikut :
1)           Hipotesis harus dirumuskan secara jelas dan padat serta spesifik
2)           Hipotesis sebaiknya dinyatakan dalam kalimat deklaraif dan berbentuk pernyataan.
3)           Hipotesis sebaiknya menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel yang dapat diukur.
4)           Hendaknya dapat diuji
5)           Hipotesis sebaiknya mempunyai kerangka teori.

F.     Menguji hipotesis

Suatu Hipotesis harus diuji berdasarkan data empiris, yakni berdasarkan apa yang dapat diamati dan dapat diukur. Unruk itu peneliti harus mencari situasi atau lapangan empiris yang memberi data yang diperlukan. Tidak selalu mudah mencari sempel yang dapat dan rela memberi data. Untuk meneliti kesejahteraan buruh suatu perusahaan, harus diperoleh izin terlebih dahulu dari pemilik ataupun pemimpinnya. Selain itu tidak selalu ada kesediaan orang untuk memberikan informasi yang benar secara jujur. Ada lagi kesulitan-kesulitan lain yang harus diatasi untuk memperoleh lapangan empiris guna mentes hipotesis kita.

Sesuadah hipotesis dirumuskan , hipotesis tersebut kemudian diuji secara empiris dan tes logika. Untuk menguji suatu hipotesis ,peneliti harus:
1)           Menarik kesimpulan tentang konsekuensi-konsekuensi yang akan dapat diamati apabila hipotesis tersebut benar.
2)           Memilih metode-metode penelitian yang mungkin pengamatan , eksperimental, atau prosedur lain yang diperlakukan untuk menunjukkan apakah akibat-akibat tersebut terjadi atau tidak.
3)           Menerapkan metode ini serta mengumpulkan data yang dapat dianalisis untuk menunjukkan apakah hipotesis tersebut didukung oleh data  atau tidak.
Andaikata kita telah mengumpulkan data, bagaimanakah kita simpulkan apakah hipotesis yang kita kemukakan itu benar atau salah? Ada bahayanya seorang peneliti cenderung membenarkan dugaan atau hipotesisnya, karena ia dipengaruhi oleh bias atau prasangka. Dengan menggunakan data kuantitatif yang diolah melalui ketentuan-ketentuan statistic dapat ditiadakan bias itu sedapat mungkin. Tentu saja seorang penyelidik harus jujur, jangan memanipulasi data, dan harus menjunjung tinggi penelitian sebagia usaha untuk mencari kebenaran sempel. Misalnya kita ingin mengetahui tinggi badan rata-rata mahasiswa Indonesia. Sebenarnya kita harus mengukur tinggi badan semua mahasiswa, jadi seluruh populasi. Akan tetapi, oleh sebab usaha itu terlalu banyak memakan waktu, biaya, dan tenaga, selain dari itu tidak perlu melakukan demikian, kita ambil sebagian saja sebagai sempel, misalnya 100 orang yang kita anggap mewakili seluruh populasi.
Dalam mengambil keputusan tentang suatu hipotesis, peneliti dapat berbuat dua macam kesalahan. Yang pertama ialah ia menolak hipotesis yang benar. Kesalahan kedua yang dapat dilakukan seorang peneliti ialah ia menerima hipotesis yang salah. Tentu saja seorang peneliti itu ingin mengelakkan kesalahan itu. Namun, tak selalu kesalahan itu dapat ditiadakan sama sekali. Yang dapat dilakukan ialah bagaimana memperkecil kesalahan itu. Untuk itu peneliti harus rela menerima resiko sekecil yang diinginkannya, menurut tingkat kepercayaan tentang keputusan yang diambilnya.caranya adalah menentukan tingkat signifikansi atau tingkat kepercayaan yang diinginkannya.
Untuk mengetahui sampai manakah suatu hipotesis dapat diterima atau harus ditolak maka secara statistic dapat dihitung tingkat signifikansinya. Biasanya tingkat signifikansinya ditentukan sebanyak 0,10, 0,05, 0,01.




Daftar pustaka


Nazir, Moh.,ph. D. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta: 2003
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktika, Rineka Cipta, Jakarta: 1997

Furchon, Arief, Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya: 1982

Faiasl, Sanapioh. Metodologi Penelitian Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya: 1982