2.1 Kerangka Teoretis
2.1.1
Hakekat Belajar
Para pakar pendidikan mengemukakan pengertian hakekat belajar berbeda
antara satu dengan yang lainnya, namun demikian selaku mengacu pada prinsip
yang sama yaitu setiap orang yang melakukan proses belajar akan mengalami suatu
perubahan dalam dirinya. Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi
tentang belajar. Cronbach, Harold Spears dan Geoch dalam Sardiman A.M (2005 : 20)
sebagai berikut :
1) Cronbach memberikan definisi :
Belajar adalah memperlihatkan perubahan dalam perilaku sebagai hasil dari
pengalaman”.
2) Harold Spears memberikan batasan :
Belajar adalah mengamati, membaca, berinisiasi,
mencoba sesuatu sendiri, mendengarkan, mengikuti petunjuk/arahan.
3) Geoch, mengatakan :
Belajar adalah perubahan dalam penampilan sebagai
hasil praktek.
Dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar itu
senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan
serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru
dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih baik kalau siswa mengalami
atau melakukannya, jadi tidak bersifat verbalistik. Belajar sebagai kegiatan
individu sebenarnya merupakan rangsangan-rangsangan individu yang dikirim
kepadanya oleh lingkungan. Dengan demikian terjadinya kegiatan belajar yang
dilakukan oleh siswa dapat dijelaskan dengan rumus antara siswa dan lingkungan.
Fontana dalam Winataputra (2003 : 2) mengemukakan bahwa ”Learning (belajar)
mengandung pengertian proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku
individu sebagai hasil dari pengalaman”. Pengertian belajar juga dikemukakan
oleh Slameto (2003 : 2) yakni ”Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Selaras dengan pendapat-pendapat tersebut, Hakim (2000 : 1) mengemukakan
bahwa :
Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan
perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas
tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan,
pemahaman, keterampilan, daya pikir, dll.
Hal ini berarti
bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang diperlihatkan
dalam bentuk bertambahnya kualitas dan kuantitas kemampuan seseorang dalam
berbagai bidang. Dalam proses belajar, apabila seseorang tidak mendapatkan
suatu peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, maka orang tersebut
sebenarnya belum mengalami proses belajar atau dengan kata lain ia
mengalami kegagalan di dalam proses belajar.
Belajar yang efektif dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan yang
diharapkan sesuai dengan tujuan instruksional yang ingin dicapai. Untuk meningkatkan
prestasi belajar yang baik perlu diperhatikan kondisi internal dan eksternal.
Kondisi internal adalah kondisi atau situasi yang ada dalam diri siswa, seperti
kesehatan, keterampilan, kemapuan dan sebagainya. Kondisi eksternal adalah
kondisi yang ada di luar diri pribadi manusia, misalnya ruang belajar yang
bersih, sarana dan prasarana belajar yang memadai.
2.1.2
Hasil Belajar
Hasil
belajar siswa merupakan suatu hal yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menyerap atau memahami suatu materi
yang disampaikan. Hasil belajar
siswa diperoleh setelah berakhirnya proses pembelajaran.
Menurut Bloom hasil belajar mencakup
prestasi belajar, kecepatan belajar, dan hasil afektif. Andersen sependapat dengan Bloom bahwa
karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan
perasaan. Tipikal berpikir berkaitan
dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan
tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti
perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai.
Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil
belajar dalam bidang pendidikan. Dimyati (2002: 3)
mengungkapkan pengertian hasil belajar sebagai berikut.
Hasil belajar
merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi
belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar
merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar.
Sudjana (2005: 3) juga mengungkapkan bahwa:
Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku.
Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian luas mencakup bidang
kognitif, afektif, dan psikomotoris.
Berdasarkan uraian tersebut,
hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku dari suatu interaksi
belajar-mengajar yang kemudian menjadi milik individu yang belajar, baik dalam
bidang kognitif, afektif, maupun psikomotoris.
Salah satu upaya mengukur hasil belajar siswa
dilihat dari hasil belajar siswa itu sendiri.
Bukti dari usaha yang dilakukan dalam kegiatan belajar dan proses
belajar adalah hasil belajar yang biasa diukur melalui tes. Abdullah (2008) menyatakan pengertian hasil
belajar sebagai berikut.
Hasil belajar (achievement) itu sendiri dapat diartikan sebagai
tingkat keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di pondok
pesantren atau sekolah, yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari
hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini
hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa dalam aspek kognitif setelah
melalui proses belajar, yaitu berupa skor yang diperoleh siswa dari tes
formatif pokok bahasan.
2.1.3
Inkuiri
Penggunaan suatu model pembelajaran merupakan hal yang sangat
penting dalam meningkatkan kemampuan siswa dan mengarah pada penguasaan materi.
Dalam proses pembelajaran guru harus
memiliki strategi agar siswa dapat belajar secara efektif, efisien, dan mengena
pada tujuan yang diharapkan. Inkuiri
merupakan salah satu model pembelajaran yang menekankan pada bermacam-macam kegiatan
dalam interaksi belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran bermakna.
Kardi (2003 : 3) menyatakan :
Inkuiri pada dasarnya dipandang sebagai suatu proses untuk menjawab
pertanyaan dan memecahkan masalah berdasarkan fakta dan observasi. Dari sudut
pembelajaran, model umum inkuiri adalah model belajar mengajar yang dirancang
untuk membimbing siswa bagaimana meneliti masalah dan pertanyaan berdasarkan
fakta.
Inkuiri merupakan salah satu model belajar
mengajar yang menuntut siswa untuk menjawab pertanyaan dan memecahkan masalah
berdasarkan fakta dan observasi.
Roestiyah (1991 : 75) menyatakan :
Inkuiri adalah cara guru mengajar yang pelaksanaannya guru memberi tugas
meneliti sesuatu masalah di kelas. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, dan
masing-masing kelompok mendapat tugas tertentu yang harus dikerjakan. Kemudian
mereka mempelajari, meneliti atau membahas tugas di dalam kelompok, dan masing-masing
kelompok mendapat tugas tertentu yang harus dikerjakan, lalu dibuat laporan
yang tersusun dengan baik.
Guru dalam menerapkan inkuiri di kelas mempunyai
peranan sebagai konselor, konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia
harus dapat membimbing
dan mereflesikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan bagi kerja
kelompok.
Menurut Henrichsen & Jarrett
(dalam Zulfiani, 2006 : 13), menyatakan bahwa pada pembelajaran IPA, inkuiri
merupakan esensi kegiatan (proses) ilmiah (scientific
Proces) dan merupakan suatu model pembelajaran sains. Sebagai suatu model pembelajaran, inkuiri
memiliki karakteristik utama, yakni :
(1) Adanya koneksi antara pengetahuan pribadi
dengan konsensus ilmiah, (2) Mendesain eksperimen, (3) Melakukan investigasi
terhadap fenomena, dan (4) Mengkonstruksi makna dari data dan observasi.
Karakteristik utama di atas
bersifat jelas, dapat diamati (observable),
dan perilaku-perilakunya dapat diukur (measurable
behaviors).
2.1.4
Inkuiri Terbimbing
Inkuiri adalah suatu model pembelajaran yang
digunakan dalam pembelajaran fisika dan mengacu pada suatu cara untuk
mempertanyakan, mencari pengetahuan, informasi atau mempelajari suatu gejala. Model pembelajaran inkuiri terbimbing yaitu dimana guru membimbing
siswa melakukan kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada
suatu diskusi. Guru mempunyai peran aktif dalam menentukan permasalahan dan
tahap-tahap pemecahannya. Model pembelajaran inkuiri terbimbing ini digunakan
bagi siswa yang kurang berpengalaman belajar dengan pembelajaran inkuiri.
Dengan model pembelajaran ini siswa belajar lebih beorientasi pada bimbingan
dan petunjuk dari guru hingga siswa dapat memahami konsep-konsep pelajaran.
Pada model pembelajaran ini siswa akan dihadapkan pada tugas-tugas yang relevan
untuk diselesaikan baik melalui diskusi kelompok maupun secara individual agar
mampu menyelesaikan masalah dan menarik suatu kesimpulan secara mandiri.
Menurut Suryosubroto (2002 : 201) :
Ada
beberapa kelebihan pembelajaran inkuiri terbimbing, antara lain: (1) Membantu
siswa mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan keterampilan
dan proses kognitif siswa. (2) Membangkitkan gairah pada siswa misalkan siswa
merasakan jerih payah penyelidikannya menemukan keberhasilan dan kadang-kadang
kegagalan. (3) Memberi kesempatan pada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan
kemampuan. (4) Membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya
kepercayaan pada diri sendiri melalui prosesproses penemuan. (5) Siswa
terlibat langsung dalam belajar sehingga termotivasi untuk belajar. (6) Model
ini berpusat pada anak, misalkan memberi kesempatan kepada mereka dan guru
berpartisipasi sebagai sesama dalam mengecek ide. Guru menjadi teman
belajar, terutama
dalam situasi penemuan yang jawabanya belum diketahui.
Kelebihan pembelajaran inkuiri terbimbing ini berpusat pada siswa artinya,
siswa terlibat langsung dalam proses belajar dan siswa secara aktif dalam
menemukan sendiri konsep-konsep dengan permasalahan yang diberikan atau dipilih
oleh guru.
Menurut Suryosubroto (2002 : 201) :
Ada beberapa kelemahan pembelajaran inkuiri
terbimbing, antara lain: (1) Dipersyaratkan keharusan ada persiapan mental
untuk cara belajar ini. (2) Pembelajaran ini kurang berhasil dalam kelas besar,
misalnya sebagian waktu hilang karena membantu siswa menemukan teori-teori atau
menemukan bagaimana ejaan dari bentuk kata-kata tertentu.
(3) Harapan yang ditumpahkan pada model ini
mungkin mengecewakan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan
pembelajaran secara tradisional jika guru tidak menguasai pembelajaran
inkuiri.
Kelemahan inkuiri terbimbing ini siswa belum
terbiasa untuk melaksanakan proses pembelajarannya, karena siswa masih
terbiasa mengandalkan guru. Tanpa siswa terlibat langsung dan aktif dalam
proses belajarnya.
Langkah-langkah
inkuiri terbimbing menurut Memes (2000 :
42), ”(1) Merumuskan masalah, (2) Membuat hipotesis, (3) Merencanakan kegiatan,
(4) Melaksanakan kegiatan, (5) Mengumpulkan data, (6) Mengambil kesimpulan”. Enam
langkah pada inkuiri terbimbing ini mempunyai peranan yang sangat penting
dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Para siswa akan berperan aktif melatih
keberanian, berkomunikasi dan berusaha mendapatkan pengetahuannya sendiri untuk
memecahkan masalah yang dihadapi. Tugas
guru adalah mempersiapkan skenario pembelajaran sehingga pembelajarannya dapat
berjalan dengan lancar.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa inkuiri terbimbing merupakan salah satu tahapan dalam
pembelajaran inkuiri. Dalam pembelajaran inkuiri
terbimbing (guided inquiry), siswa
mengembangkan cara kerja untuk menyelidiki pertanyaan yang dipilih / diberikan guru.
2.1.5
Pembelajaran Langsung
Pengetahuan yang bersifat informasi dan
prosedural yang menjurus pada keterampilan dasar akan lebih efektif jika
disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan
siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan
mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau
ekspositori (ceramah bervariasi). (Subarkah, 2010 : 4).
Pemilihan model
pembelajaran yang digunakan oleh guru sangat dipengaruhi oleh sifat dari materi
yang akan diajarkan, juga dipengaruhi oleh tujuan yang akan dicapai dalam
pengajaran tersebut dan tingkat kemampuan peserta didik. Di samping itu pula
setiap model pembelajaran selalu mempunyai tahap-tahap (sintaks) yang
dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru. Antara sintaks yang satu dengan
sintaks yang lain mempunyai perbedaan. Oleh karena itu guru perlu menguasai dan
dapat menerapkan berbagai model pembelajaran, agar dapat mencapai tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai setelah proses pembelajaran sehingga dapat tuntas
seperti yang telah ditetapkan. Tetapi para ahli berpendapat bahwa tidak ada
model pengajaran yang lebih baik dari model pengajaran yang lain.(Kardi dan
Nur, 2000 : 13).
Model Direct Intruction merupakan suatu model pembelajaran yang dapat
membantu siswa dalam mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh informasi
yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah. Model pembelajaran ini sering
disebut Model Pembelajaran Langsung (Kardi dan Nur,2000 : 2). Arends (2001 : 264)
juga mengatakan hal yang sama yaitu :
Apabila guru
menggunakan model pembelajaran langsung ini, guru mempunyai tanggung jawab
untuk mengidentifikasi tujuan pembelajaran dan tanggung jawab yang besar
terhadap penstrukturan isi materi atau keterampilan, menjelaskan kepada siswa, mendemonstrasikan
yang dikombinasikan dengan latihan, memberikan kesempatan pada siswa untuk
berlatih menerapkan konsep atau keterampilan yang telah dipelajari serta
memberikan umpan balik.
Model pembelajaran
langsung ini dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang
berkaitan dengan pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang
terstruktur dengan baik, yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang
bertahap, selangkah demi selangkah.
Hal yang sama dikemukakan oleh
Kardi dan Nur (2000 : 27) bahwa :
Suatu pelajaran
dengan model pembelajaran langsung berjalan melalui lima fase: (1) penjelasan
tentang tujuan dan mempersiapkan siswa,
(2) pemahaman / presentasi
materi ajar yang akan diajarkan atau demonstrasi tentang keterampilan tertentu,
(3) memberikan latihan terbimbing, (4) mengecek pemahaman dan memberikan umpan
balik, (5) memberikan latiham mandiri.
2.1.6
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter
adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME),
diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia
insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders)
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan
atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas
atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan
ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah (Koesoema : 2010).
Terlepas dari berbagai
kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar
nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan
implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP
sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam
materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta
didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di
sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau
nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk
meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan
Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap
jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi
rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian
pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam
konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan
dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual
development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic
development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu
dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut (Sudrajat : 2010).
Selama ini, pendidikan
informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti
dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik.
Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya
pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh
pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa
berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta
didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan
kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di
sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu
dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam
pembentukan karakter peserta didik .
Melalui program ini
diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan
terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya
Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya
diharapkan menjadi budaya sekolah.
Keberhasilan program
pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta
didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP
(Sudrajat:2010), yang antara lain meliputi sebagai berikut:
1.
Mengamalkan ajaran agama yang
dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2.
Memahami kekurangan dan
kelebihan diri sendiri;
3.
Menunjukkan sikap percaya diri;
4.
Mematuhi aturan-aturan sosial
yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5.
Mencari dan menerapkan
informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis,
dan kreatif;
6.
Menunjukkan kemampuan berpikir
logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
7.
Menunjukkan kemampuan belajar
secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
8.
Menunjukkan kemampuan
menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
9.
Menerapkan nilai-nilai
kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi
terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
10.
Berkomunikasi dan berinteraksi
secara efektif dan santun;
11.
Memahami hak dan kewajiban diri
dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan
pendapat;
12.
Menunjukkan keterampilan
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris sederhana;
Pada tataran sekolah,
kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya
sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang
dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus
berlandaskan nilai-nilai tersebut.
Pada penelitian ini
karakter yang akan dilaksanakan, seperti ; memahami kekurangan dan kelebihan
diri sendiri, menunjukkan sikap percaya diri, mematuhi aturan-aturan yang
berlaku di lingkungan, mencari dan menerapkan informasi yang didapat dari
lingkungan sekitar secara logis, kritis dan kreatif, menunjukkan kemampuan
belajar secara mandiri, menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari, menunjukkan keterampilan menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis, dll.
2.2 Kerangka Pemikiran
Dalam kegiatan pembelajaran di kelas, guru
mengutamakan keterlibatan aktif siswa secara langsung seperti mendorong siswa
mengungkapkan dugaan awal dengan cara mengajukan pertanyaan membimbing,
eksperimen menggunakan media yang secara langsung digunakan oleh siswa, dan
melibatkan siswa dalam merangkum atau menyimpulkan informasi pesan
pembelajaran. Siswa akan memperoleh
keuntungan jika mereka dapat “melihat” dan “melakukan” sesuatu dari pada
sekedar mendengarkan ceramah. Guru dapat membantu siswa memahami konsep – konsep
yang sulit dengan bantuan demonstrasi. Tugas guru dalam pembelajaran ini adalah
membimbing dan mengarahkan siswa dalam suatu kegiatan belajar untuk memecahkan
masalah yang dihadapinya atau memecahkan sendiri di dalam kelompoknya, bukan
mengajarkan mereka jawaban dari masalah yang dihadapi
tersebut.
Dalam metode inkuiri terbimbing siswa diberikan
kesempatan untuk melakukan percobaan untuk
memecahkan suatu masalah sehingga siswa menemukan sendiri jawaban dari
masalahnya tersebut.
Melalui
pengalaman langsung oleh siswa sendiri memungkinkan mereka menemukan prinsip
untuk diri mereka sendiri, dan prinsip itu tidak akan berlalu begitu saja
tetapi akan bertahan lama untuk diingat.
Kelebihan pembelajaran inkuiri terbimbing ini berpusat pada siswa artinya,
siswa terlibat langsung dalam proses belajar dan siswa secara aktif dalam
menemukan sendiri konsep-konsep dengan permasalahan yang diberikan atau dipilih
oleh guru. Dengan
melibatkan siswa secara langsung dalam pembelajaran, seperti siswa diajak untuk
melakukan penyelidikan, maka proses pembelajaran dengan metode inkuiri
terbimbing menjadi terpusat pada aktivitas siswa, sehingga dengan meningkatnya
aktivitas siswa maka berdampak pula pada peningkatan hasil belajarnya. Kelemahan
inkuiri terbimbing ini siswa belum terbiasa untuk melaksanakan proses
pembelajarannya, karena siswa masih terbiasa mengandalkan guru. Tanpa siswa
terlibat langsung dan aktif dalam proses belajarnya.
Sedangkan model pembelajaran langsung bersandar pada kemampuan
siswa untuk mengasimilasikan informasi melalui kegiatan mendengarkan, mengamati,
dan mencatat. Karena tidak semua siswa memiliki keterampilan dalam hal-hal
tersebut, guru masih harus mengajarkannya kepada siswa.
Model pembelajaran langsung bergantung pada kemampuan refleksi
guru sehingga guru dapat terus menerus mengevaluasi dan memperbaiki masalah
yang dihadapi siswa. Karena guru memainkan peran pusat dalam model ini,
kesuksesan model pembelajaran ini bergantung pada image guru, jika guru tidak
tampak siap, berpengetahuan, percaya diri, antusias, dan terstruktur, siswa
dapat menjadi bosan, teralihkan perhatiannya, dan pembelajaran mereka akan
terhambat.
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil.
Pada Inkuiri
terbimbing mengacu
pada suatu cara untuk mempertanyakan, mencari pengetahuan, informasi
atau mempelajari suatu gejala. Cara tersebutlah yang membentuk karakter siswa.
Pada pembelajaran langsung bersandar
pada kemampuan siswa untuk mengasimilasikan informasi melalui kegiatan
mendengarkan, mengamati, dan mencatat. Kegiatan tersebutlah yang membentuk
karakter siswa.